#EDISI 3
Abdul Basith Umami - PMII Rayon Fakultas Hukum Unversitas Jember
Negara yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948
dan kini memiliki jumlah penduduk sebesar 7,5 juta jiwa ini yang di putari oleh
gurun pasir sinai, Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon hingga Laut Tengah, negara
tersebut bernama Israel. Tak hanya itu negara dengan nama Israel ini juga
diapit dua daerah Otoritas Nasional Palestina yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat. Satu-satunya
negara yahudi di dunia tersebut berpopulasi dari berbagai etnis seperti etnis
Arab berkewarganegaraan Israel, serta kelompok keagamaan lainnya seperti
Muslim, Kristen, Samaritan, Druze dan lainnya[1].
Negara
israel pada dasarnya dibangun diatas wilayah negara Palestina dengan melakukan
cara teror dan konspirasi Internasional[2].
Berdirinya negara Israel bermula pasca Perang Dunia I, pada saat Liga
Bangsa-Bangsa menyepakati untuk dijadikannya Mandat Britania atas Palestina
sebagai negara Yahudi. Dan pada tanggal
29 November 1947 Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi yang berisi pembagian
wilayah Palestina menjadi dua negara, yaitu negara yahudi dan negara arab. Yang
kelak resolusi ini dikenal sebagai resolusi 181. Resolusi ini mencuat atas
tekanan dari pemerintah Truman presiden AS yang menjabat pada saat itu, kepada
sejumlah negara anggota PBB. Voting suara di Majelis Umum PBB pun dilakukan dan
menghasilkan 33 suara menyetujui, 13 suara menolak, 10 suara abstain, dan 1
suara absen. Namun Inggris yang pada saat itu masih memegang mandat PBB atas
Palestina malah justru tidak mendukung pembagian wilayah Palestina, dikarenakan
mendapatkan berbagai tekanan dari negara-negara Arab[3].
Israel pun
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang seakan-akan telah diberkan oleh PBB ini,
melalui resolusi 181 yang telah menguntungkan Israel, hingga puncaknya pada 14
Mei 1948 Israel memprokalamasikan kemerdekaannya. Tindakan yang dilakukan
Israel ini tidak disetujui oleh negara-negara Arab yang menolak pembagian
wilayah tersebut dimana kemudian memicu peperangan yang dilakukan oleh
negara-negara Arab yang berada di sekitarnya. Namun Israel memenangkan
peperangan tersebut sehingga mengukuhkan kemerdekaannya.
Akibat dari
perang ini, Israel berhasil untuk meluaskan wilayahnya melebihi batas garis
yang telah ditentukan PBB dalam Rencana Pembagian Palestina. Mulai dari saat
itu, Israel tak henti terus-menerus melakukan pertikaian dengan negara-negara
Arab tetangga, pertikaian atau peperangan tersebut menyebabkan terus berlanjut
hingga saat ini[4].
Sedari awal
pembentukan negara Israel, batas wilayah negara Israel, hingga hak Israel untuk
berdiri telah mendapatkan banyak pertentangan dan kecaman dari berbagai pihak,
terutama dari pihak pengungsi Palestina dan negara Arab. Israel telah
menandatangai perjanjian perdamaian dengan Mesir dan Yordania, namun usaha
perdamaian dengan Palestina yang sudah beberapa kali diteken oleh kedua belah
pihak sejak Kesepakatan Oslo 1993 belum mendapatkan titik temu dimana gelombang
serangan dan intifadha hingga kini masih terus dilakukan jual beli antara kedua
belah pihak.
Meskipun sudah berumur 73 tahun namun Israel bisa dikatakan masih terseok-sesok dalam melakukan hubungan internasional dengan beberapa negara di dunia karena dari 193 anggota PBB terdapat 32 negara yang sampai saat ini belum mengakui dan tidak melakukan hubungan diplomatik dengan Israel, termasuk Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia serta 8 dari 10 negara ASEAN yang belum mengakui Israel ini, sampai saat ini belum mempunyai hubungan diplomatik yang permanen dengan Isarel.
Lantas, bagaimana sikap Indonesia atas kehadiran negara baru Israel dalam Hubungan Internasional ?
Mengacu pada alinea satu dan alinea
empat preambule UUD NRI 1945 yang berbunyi
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesusi
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan “Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukankesejahteraan
umum,mencerdaskan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia[5]”.
Dari penjabaran pembukaan UUD NRI 1945 alinea satu dan alinea empat dapat kita
tarik benang merah bahwa cita-cita Indonesia dalam dunia Internasional telah
tertuang dalam konstitusi UUD NRI 1945 yakni yang mana Indonesia menganut
politik luar negeri bebas aktif yang lebih mengedepankan akan kepentingan
nasional, serta menitik tekankan pada solidaritas antara sesama
negara berkembang, menolak penjajahan dalam bentuk apapun, mendukung
kemerdekaan bangsa-bangsa, juga meningkatkan kemandirian bangsa serta kerja
sama internasional untuk kesejahteraan rakyat[6].
Intisari dari konstitusi tersebut dapat diartikan, bahwa dalam bidang kebijakan
politik luar negeri Indonesia harus berdasar pada semangat nilai-nilai
kemerdekaan dan anti-kolonialisme, lebih mementingkan kepentingan nasional
serta mandiri dalam artian tidak teriintervensi oleh pihak-pihak lain atau
hegomoni-hegemoni kekuatan asing.
Merujuk
pada isi pembukaan UUD NRI 1945 diatas, sulit nampaknya bagi indonesia untuk
membuka dan memulai hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini dikarenakan pengarus-utamaan
mayoritas opini publik terhadap fakta politik yang ada mengenai penjajahan yang
dilancarkan Israel terhadap Palestina. Sehingga oleh karena itu jika Indonesia
membuka hubungan diplomatik dengan Israel, hal ini dianggap sama saja dengan
menjustifikasi dan memberikan legitimasi terhadap penjajahan yang dilakukan oleh
Israel kepada Palestina selama ini.
Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut Doktrin Stimson,
Doktrin Stimson adalah kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh pemerintah
Amerika Serikat pada tanggal 7 Januari 1932 atas nota yang dikirimkan kepada
Kekaisaran Jepang dan Kekaisaran Tiongkok, yang menegaskan bahwa Amerika
Serikat tidak akan mengakui berdirinya suatu wilayah yang ditegakkan dengan
kekuatan militer[7] .
Doktrin ini juga merupakan pengimplementasian dari asas ex injuria jus non
oritur yakni salah satu asas dalam hukum internasional yang menyatakan
bahwa perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum tidak dapat menciptakan
hukum[8].
Jadi dapat diartikan bahwa tindakan atau perbuatan tersebut tidak dapat menjadi
rujukan atau suatu sumber hukum dan juga tidak ada hak yang diperoleh dari
perbuatan tersebut. Seperti contoh negara yang melakukan invasi dan merampas wilayah
dari negara lain maka negara tersebut tidak dapat mengaku atau mengklaim bahwa
dirinyalah yang memiliki kekuasaan atas wilayah tersebut. Sebagaimana halnya yang
terjadi pada tanggal 8 Juli 2014 yang menyebabkan 230 warga Gaza meninggal
dunia dimana 2/3 dari mereka merupakan perempuan, anak-anak, kaum manula dan
juga difabel serta mengakibatkan 1770 warga lainnya mengalami luka-luka atas
lancaran invasi Israel kepada Gaza untuk yang ketiga kalinya sejak perja[njian
perdamaian pada tahun 1993[9].
Serangan ini didasari oleh kegeraman Benjamain Netanyahu atas terjadinya
rekonsiliasi antara faksi Hamas dan faksi Fatah yang mana hal ini membuyarkan
rencana Israel untuk mendikte faksi Fatah agar terus menguntungkan Israel,
dimana pada tahun 2010 berkat konspirasi inilah Israel berhasil memperluas
wilayahnya hingga ke Tepi Barat dan Jerusalem Timur, wilayah yang diklaim
Palestina bakal menjadi wilayahnya ketika merdeka kelak[10].
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan Israel yang melanggar
hukum Internasional dengan melakukan invasi ke Palestina untuk mengukuhkan
kedaulatannya tidaklah dapat dibenarkan secara hukum sehingga tidak patutlah
suatu negara untuk mengakui suatu wilayah yang didirikan dengan cara yang melanggar
hukum.
Upaya untuk membuka hubungan diplomatik
kedua negara ini pernah diusahakan ketika pada tanggal 18 November 1946 setelah
beberapa negara Arab mengakui Indonesia atas instruksi dari dewan Liga arab
pada saat itu, tak lama kemudian Israel pun juga ikut-ikutan pada Januari 1950
melalui Menteri Luar Negerinya yakni Moshe Sarett mencoba mengirim telegram
kepada Hatta dengan memberi tahu bahwa
pemerintah Israel telah memutuskan untuk memberikan pengakuan penuh terhadap
Indonesia. Namun bak udang dibalik batu tindakan Israel ini tak lain dan tak
bukan adalah dengan tujuan agar Indonesia kembali mengakui Israel sebagai
negara yang berdaulat. Oleh karena itu Hatta pada saat itu menganggap hal ini
sebagai angin lalu. Bahkan pada tahun 1953 ketika Soekarno merintis Konferensi
Asia-Afrika yang akan diadakan di Jakarta terdapat beberapa negara seperti
India, Burma, dan Srilanka yang mendukung Israel untuk diikutsertakan dalam
konferensi ini. Akan tetapi Indonesia dan Pakistan dengan tegas menolaknya,
yang akhirnya pada April 1955 Israel tidak ikut berpartisipasi. Pun ketika pada
tahun 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah pagelaran olahraga empat tahunan
Asia yakni Asian Games, Soekarno pada saat itu dengan lantang menolak
keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam Asian games Jakarta 1962[11].
Lagi-lagi hal ini didasari oleh
mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim sehingga terjadi hubungan sesama
muslim atau ukhuwah islamiyah yang cukup kuat antara muslim Indonesia dan
muslim Palestina, tak hanya itu juga terdapat fakta yang mengatakan bahwa
negara-negara Arab telah memberikan dukungan kepada Indonesia selama perjuangan
untuk meraih kemerdekaan.
Hal inilah yang membuat mengapa Indonesia sampai saat ini sulit untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, selain itu hal ini juga bentuk pengejawantahan dari sikap Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar bahwa Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan penjajahan dalam betuk apapun di atas dunia harus diberantas serta sebagai bentuk implementasi dari tujuan bangsa yakni ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia. Sehingga mendukung Palestina untuk merdeka adalah suatu keniscayaan sedangkan mengakui Israel sama saja dengan menyetujui dan meng-iyakan atas segala bentuk penyerangan dan penindasan yang dilakukan oleh Israel selama ini kepada Palestina.
Uraian diataslah yang menjadi dasar
bahwasanya Indonesia menganut Doktrin Stimson atas sikap pengakuannya terhadap negara
Israel. Dimana Indonesia tidak akan mengakui Israel sepanjang Israel tidak
menghentikan penyerangannya kepada Palestina dan mengembalikan tanah yang telah
ia rampas dari Palestina. Hal yang mendukung fakta ini adalah ketika Resolusi
181 yang dikeluarkan oleh PBB membagi wilayah Palestina menjadi 2 wilayah
dengan mengalokasikan sebanyak 56 persen menjadi negara Israel dan sisanya
untuk Palestina. Seiring dengan berjalannya waktu dan terus dilancarkannya
pemborbardiran terhadap Palestina, kini wilayah Palestina pun banyak yang
direbut dan dikuasai oleh Israel hingga sampai saat ini tinggal tersisa kurang
dari 50 persen dari jatah yang awalnya telah ditentukan oleh PBB[12].
[1] ‘Freedom in the
World 2007’ (11 January 2012)
<https://freedomhouse.org/report/freedom-world/freedom-world-2007>
accessed 12 October 2019.
[2] Adian Husaini, Pragmatisme
Dalam Politik Zionis Israel (Penerbit Khairul Bayaan 2004) 1.
[3] Rizal Sihbudi, Profil-Profil
Negara Timur Tengah (Dunia Pustaka Jaya 1995) 20.
[4] ‘Arab-Israeli Wars
| History, Conflict, & Facts’ (Encyclopedia Britannica) <http s://wbdww.britannica.com/event/Arab-Israeli-wars>
accessed 12 October 2019.
[5] Pembukaan UUD NRI 1945
[6] Syahmam Kerangkin, Hukum
DIplomatik Dalam Rangka Analisis (Rajawali Press 2008) 237.
[7] Bin Cheng Georg
(FRW) Schwarzenberger, General Principles of Law as Applied by International
Courts and Tribunals (Cambridge University Press 2006).
[8] Brigitte Stern, Dissolution,
Continuation, and Succession in Eastern Europe (Martinus Nijhoff
Publishers).
[9] Harmiyati, ‘INVASI
ISRAEL KE JALUR GAZA DAN DUKUNGAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP BANGSA ARAB
PALESTINA’ (2014) 18 25.
[10] ibid.
[11] Fajar Riadi,
‘Israel Akui Kedaulatan Indonesia’ (Historia)
<https://historia.id/politik/articles/israel-akui-kedaulatan-indonesia-PGrev>.
[12] Dina Y Sulaeman,
‘PALESTINA ADALAH KITA (BANTAHAN UNTUK PARA PEMBELA ISRAEL)’ Indonesia Center
For Middle East Studies-ICMES.
Komentar
Posting Komentar