#EDISI 2
Alfiyan Romadhon - PMII Rayon Fakultas Hukum Universitas Jember
Perlindungan hukum
merupakan bentuk pelayanan negara yang wajib diberikan oleh pemerintah, untuk
memberi rasa aman kepada setiap warga negaranya. Pasal 28I ayat (4)
Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945, menjelaskan bahwa “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.” Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap warga
negara, menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam peraturan perundang-undangan
ini, diatur pula mengenai lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani
pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban. Lembaga tersebut
dikenal dengan nama LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan
bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup perlindungan oleh LPSK adalah pada
semua tahap proses peradilan pidana, agar saksi dan/atau korban merasa aman
ketika memberikan keterangan. Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, menjelaskan bahwa perlindungan saksi dan korban
dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50
sampai dengan Pasal 68 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa agar mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga
ini dipandang penting, karena kerap kali peranan saksi dalam menyampaikan
keterangan atas suatu perkara pidana, dapat memperlancar proses penyidikan
perkara hingga pada proses pemeriksaan persidangan pengadilan, bahkan dapat
mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana.
Sistem hukum Indonesia, lebih bercorak pada eropa continental dengan mengacu pada asas legalitas dengan
kepastian hukum. Maka suatu kewajiban hukum bagi saksi hadir pada setiap proses
penegakan hukum, sehingga bila seorang saksi tidak memenuhi panggilan yang sah
dari penyidik, penuntut, hingga pemeriksaan pengadilan, maka dengan segala
kewenangannya yang ada pada penyidik, penuntut bisa melakukan upaya paksa dengan
menjemput paksa saksi. Begitu juga dalam proses pemeriksaan persidangan jika
saksi tidak hadir sesuai dengan surat panggilan yang sah tanpa adanya alasan
yang patut dan wajar, maka Ketua Majelis
Hakim dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar saksi tersebut dihadapkan
secara paksa untuk hadir memberikan keterangan dihadapan proses persidangan,
sebagaimana dalam pasal ayat (2) KUHAP.
Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan
berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 yaitu: penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman,
keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Sebelum saksi dan korban
bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus melewati beberapa
prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK disamping mereka harus memenuhi
persyaratan untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah
dijelaskan dalam pasal 28 – pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Adapun beberapa persyaratan yang telah ditentukan
oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban
tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi:
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan
syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau
Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Adapun pemberian Perlindungan terhadap saksi dan korban dipaparkan dalam pasal 29 UU No. 13 Tahun 2006 yang berbunyi:
a. Saksi dan/atau Korban
yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat
yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7
(tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dari ketentuan Pasal 29 ini ada pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan korban. Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.
LPSK membuat Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 yang secara khusus mengatur mengenai tata cara mengajukan permohonan. Dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa:
(1) Pemohon perlindungan
yang ditujukan kepada ketua LPSK melalui surat atau permintaan pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, ketua LPSK
meneruskan permohonan kepada UP2 LPSK untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kelengkapan persyaratan sesuai dalam ketentuan peraturan ini.
(2) Dalam hal untuk
memperoleh pemenuhan kelengkapan berkas permohonan perlindungan, UP2 LPSK dapat
berkoordinasi kepada pejebat berwewenang atau yang mengajukan permohonan.
(3) Selain persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7, UP2 LPSK dapat meminta data
atau informasi tambahan yang berkaitan perkaranya antara lain:
a. Hasil Berita Acara
Pemeriksaan (BAP);
b. Sifat pentingnya
kesaksian dalam perkara;
c. Surat panggilan
kepolisian atau Kejaksaan atau Pengadilan;
d. Surat laporan atau
informasi kepada pejabat terkait: kepolisian, Komisi Negara, pemerintah,
pemerintah Daerah, yang berkaitan atas kesaksiannya sebagai pelapor;
e. Surat dari instansi terkait mengenai kasusnya.
Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan.
Selanjutnya dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa: “Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.” Adapun mengenai pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh saksi dan/atau korban diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan
Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. Kesediaan Saksi
dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
d. Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan
kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya
permohonan tersebut sering kali membingungkan para saksi dan korban, karena
mereka harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari
LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau korban merasa
enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih untuk diam. Para saksi
dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh
LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan hukum.
Karena itulah pemdampingan akan seorang advokat akan sangatlah membantu para
saksi dan korban ini.
Dengan berada dibawah perlindungan LPSK, saksi dan/atau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan. Dalam realita social penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman, termasuk anggota keluarganya. Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Terkadang perkara yang telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya. Dalam fase yang seperti inilah campur tangan LPSK sangat diperlukan. Karena kehadiran LPSK diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di depan persidangan dan proses persidangan pun dapat berjalan tanpa bertele-tele.
Walaupun telah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi pemberian perlindungan terhadap
saksi dan korban ini dipandang masih belum maksimal. UU Perlindungan Saksi dan
Korban dinilai belumlah cukup untuk menjamin perlindungan saksi dan korban yang
secara langsung menghambat kinerja dari LPSK sendiri. Salah satunya yaitu: UU
Perlindungan Saksi dan Korban ini belum secara khusus mengatur mengenai
wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh LPSK dalam rangka pemberian
perlindungan terhadap saksi dan korban, yang terkadang menyebabkan LPSK sering
salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan menempatkan saksi dan/atau korban
tersebut dalam situasi yang rumit.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang
diberikan oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum
terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika
dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini
masih kurang memadai. Ada beberapa ketentuan yang seharusnya ditetapkan dalam
UU PSK ini, salah satunya adalah mengenai masalah pemberian bantuan terhadap
saksi dan korban. Dalam pasal 33 – pasal 36 UU Perlindungan Saksi dan Korban
mengenai tata cara pemberian bantuan, tidak menetapkan mengenai berbagai
ketentuan yang seharusnya disepakati oleh LPSK dengan saksi dan/atau korban
agar dapat berjalan beriringan. Akan lebih baik jika LPSK beserta saksi
dan/atau korban yang akan menerima bantuan tersebut, membuat
perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang,
institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen
dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang,
institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas.
Selain itu UU PSK ini mempunyai beberapa hal yang merupakan
kelemahan, yaitu: Tidak mengatur tentang cara bagaimana penegak hukum
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, bahkan terhadap jaksa dan
keluarganya sendiri, mengingat baik saksi maupun korban dan Jaksa dalam
kenyataannya kesulitan untuk mengamankan diri dan keluarganya. Adapun hal lain
yang menjadi penghambat dalam berkembangnya kinerja LPSK ini adalah kurangnya
informasi ataupun sosialisasi bagi masyarakat, sehingga minimnya pengetahuan
masyarakat akan kehadiran LPSK ini walaupun telah diundangkannya UU
Perlindungan Saksi dan Korban. Karena itulah pemberian informasi kepada
masyarakat luas sangatlah perting diadakan, terlebih khusus untuk memberikan
informasi kepada para saksi dan korban akan kehadiran LPSK ini. LPSK pun harus
dapat membangun lagi kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerjanya dengan
terus memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki.
Dari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki oleh LPSK, dapat dilihat bahwa kinerja LPSK dalam hal memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban ini tidak bisa berjalan secara efektif tanpa adanya perubahan akan UU Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Edi., Muhadar., Thamrin Husni. 2010. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana. Surabaya.
Penerbit PMN.
Adami, Chazawi. 2008. Hukum
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung. PT. Alumni.
Beccaria, Cesare. 2011. Perihal
Kejahatan dan Hukuman. Yogyakarta. Genta Publishing.
Djamali, Abdoel. 2005. Pengantar
Hukum Indonesia edisi revisi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Djindang, Saleh. 1982. Pengantar
Dalam Hukum Indonesia cetakan ke sebelas. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Gosita, Arief. 1993. Masalah
Korban Kejahatan, Jakarta. Akademika Pressindo.
Marbun, Rocky. 2009. Cerdik
dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum. Jakarta. Visimedia.
Marbun, Rocky. 2012. Kamus
Hukum Lengkap. Jakarta. Visimedia.
Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi
Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Bandung.
Mandar Maju.
Sampara, Said. 2009. Buku
Ajar Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Total Media.
Sunarso Siswanto. 2012. Viktimologi
dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika.
Syahrani, Riduan. 1991. Rangkuman
Intisari Ilmu Hukum Cetakan I. Pustaka Kartini.
Tahir, Heri. 2010. Proses
Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta.
Laksbang Pressindo.
Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi
Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta. Sinar Grafika.
Winarta, Frans Hendra. 2010. Bantuan
Hukum di Indonesia (Hak untuk didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga
Negara). Jakarta. PT Elex Media Komputindo.
Jurnal:
Rahmat. 2012. Penguatan
Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Majalah Kesaksian Edisi II).
Jakarta.
Syamsuddin, Amir. 2003. Menanti
Kehadiran UU Perlindungan Saksi dan Korban, (Artikel Jurnal Keadilan), Vol. 3 No. 2.
Internet :
Maharani Siti Shopia, 2012, Bentuk-bentuk
Perlindungan dari LPSK bagi Saksi dan Korban,
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbc7b673bc18/bentuk-bentuk-perlindungan-dari-lpsk-bagi-saksi-dan-korban,
diakses tanggal 12 Januari 2013)
Mal Thes Zumara, 2010, Fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Kasus Pelanggaran HAM Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, [pdf]
Komentar
Posting Komentar